Misteri Pusaka Tersakti di Tanah Jawa
Menurut kepercayaan sebahagian orang Jawa, seorang pemimpin tidak
akan kuat menduduki kursinya bila tanpa didukung piandel dan pusaka-pusaka
sakti. Sejauh mana kebenaran dari kepercayaan ini?
Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa, ini bukan
hal aneh lagi. Kepercayaan yang tidak diketahui sejak kapan berlaku itu
dianggap suatu keharusan bagi setiap pemimpin bila tak ingin tahtanya segera
jatuh. Yang pasti, ini bukan hanya cerita para raja dan sultan di masa lalu,
tetapi para elit politik sekarang pun masih banyak yang mempercayai kekuatan
atau tuah pusaka-pusaka sakti dengan berbagai bentuknya.
Ada yang meyakini, bahwa pusaka tersakti yang bisa membantu melenggangkan
kekuasaan setingkat pimpinan negara atau presiden adalah Keris Nogososro Keris sakti
di Tanah Jawa, yang digambarkan bisa menaklukkan jagat kahyangan bila dia mengamuk.
Tak heran, belakangan makin banyak politikus yang datang ke orang pintar demi
memburu pusaka ini dengan biaya, syarat, dan resiko apapun. Setidaknya,
demikianlah menurut informasi yang berhasil diendus Misteri dari sejumlah sumber.
Kabarnya, walau ada yang berani membeli dengan harga miliaran
rupiah atau menukar dengan berkilo-kilo gram emas, namun kenyataannya, tak
mudah untuk menemukan pusaka keris Nogososro yang asli. Keris ini tetap
misterius keberadaannya.
"Banyak sekali orang yang mengaku memiliki pusaka Nogososro.
Padahal semuanya pasti palsu. Sungguh sulit menebak siapa sebenarnya pemegang
keris itu sekarang," ujar salah seorang paranormal ahli keris, yang
dihubungi Misteri.
Ditambahkan oleh sumber yang enggan disebut identitasnya itu bahwa
keris Nogososro memang memiliki latar belakang politik yang kental, terutama
dalam hubungannya dengan suksesi kepemimpinan kesultanan Demak Bintoro di masa
silam.
"Pada dasarnya keris Nogososro merupakan pesanan dari Sultan
Trenggono untuk menentukan calon penggantinya. Karena ada trah keturunan yang
dipandang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang sama untuk menduduki
kursi kepemimpinan setelah dia wafat," imbuhnya.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa dua trah kesultanan Demak yang
memiliki peluang untuk menjadi pemimpin pasca Sultan Trenggono yakni trah
Sidolepen yang diawali oieh Haryo Penangsang, dan trah Trenggono. Kedua trah
tersebut sesungguhnya adalah masih bersaudara.
Berawal dari persoalan itu, maka para wali mengusulkan kepada
Sultan Trenggono untuk memesan keris Nogososro, sebagai pusaka andalan
sekaligus sebagai media sayembara, yang kira-kira berisi: "Siapa yang
mampu memegang atau menguasai keris tersebut, dialah yang berhak menduduki
tahta."
Ternyata sayembara itu dimenangkan oleh Joko Tingkir atau
Hadiwijoyo, anak angkat Sultan Trenggono. Sejak saat itu, keris Nogososro
menjadi legenda masyarakat.
Menurut riwayat, pusaka ini sempat hilang dari keraton dan menjadi
rebutan para pendekar Tanah Jawa, Akibat hilang keris Nogososro pada waktu itu
di seluruh kerajaan Demak Bintoro goncang. Pasalnya, kraton khawatir pusaka
yang sangat ampuh itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Namun
untungnya, atas upaya salah seorang punggawa kerajaan Demak yang terkenal sakti
dan berbudi luhur, pusaka tersebut dapat ditemukan kembali.
Orang yang berjasa besar itu bernama Mahesa Jenar, yang merupakan
saudara seperguruan Kebo Nongo atau Ki Ageng Pengging, sekaligus murid kinasih
pangeran Hanyaningrat.
Menurut keterangan salah satu sumber, pusaka Nogososro biasanya
selalu disandingkan dengan dua keris lagi yakni, Sabuk Inten dan Sengkelat,
Sabuk Inten untuk kewibawaan, sedang Sengkelat untuk kamukten.
Namun dari sekian keris yang ada, keampuhan Nogososro tak ada yang
mampu menandinginya. Dengan sawabnya, keampuhan pusaka yang lain dapat
tertindih, bahkan hilang sama sekali.
ASAL-USUL KERIS NOGOSOSRO
Menurut salah satu sumber, keris Nogososro dibuat oleh Empu Supo
Mandrani, yang hidup pada zaman kerajaan Majapahit. Tetapi versi lain
menyebutkan bahwa pusaka ini, sesuai dengan namanya, tercipta dari lidah
sesosok makhluk berbentuk ular naga yang sangat sakti. Namanya, Nogososro.
Adapun kisah selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu, seorang lelaki sakti mandraguna bernama Manggir
terbang menggunakan selembar tikar permadani meninggalkan tanah kelahirannya
dari Baqhdad. Dia berniat melakukan perjalanan menuju sebuah pulau yang terbuat
dari reruntuhan gunung Himalaya dan berbentuk seperti naga. Pulau tersebut tak
lain dan tak bukan adalah pulau Jawa.
Kedatangan Manggir di pulau Jawa bersamaan dengan turunnya patung
Al-Atha dari India. Kedatangan patung ini diiringi awan kemupus dan kelompok
orang yang memujanya. Dan bersamaan pula dengan itu, terjadi peristiwa alam
yaitu gerhana matahari total.
Setelah beberapa lama tinggal di pulau Jawa, Manggir dihadapkan
pada suatu kenyataan bahwa di tempat yang baru ini terdapat banyak sekali
gunung berapi, yang kapan saja bisa meletus dan membinasakan penduduknya. Karena
itulah Manggir bermaksud untuk melakukan tapa brata, dengan tujuan
mendinginkan gunung berapi yang ada di pulau ini.
"Aku akan pergi ke salah satu gunung berapi di pulau ini untuk
bertapa. Bila sekiranya ada keturunanku yang ingin bertemu, suruh dia mencariku
ke sana," pesan Manggir kepada Ratu Perangin angin, isterinya.
Seorang pun tak ada yang mengetahui, di gunung berapi yang mana
sebenarnya Manggir bertapa. Sebab di tanah Jawa ini, gunung berapi ada puluhan
jumlahnya. Karena itu, hingga kini tetap misterius.
Dikisahkan, Manggir bertapa sampai ratusan tahun lamanva sampai mimpikan,
dia dapat mengirimkan rohnya untuk sesekali menggauli isterinya, sehingga suatu
ketika, Ratu Perangin-angin mengandung.
"Jika suamiku menguasai gunung dan daratan, sedangkan aku
penguasa Laut Selatan, semoga anakku berkuasa atas keduanya," doa Ratu
pada suatu hari sambil mengelus-elus perutnya yang sedang hamil besar.
Ketika lahir, ternyata anak yang dikandung Ratu bentuk fisiknya bak
ular naga. Tak hanya itu, perkembangan tubuh si anak juga begitu cepat,
sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah menjelma menjadi seekor naga
raksasa yang sangat ganas. Sesuai dengan keadaannya, si anak diberi nama
Nogososro.
Dikisahkan, apabila Nogososro berjalan atau merayap, maka
langkahnya menggetarkan permukaan bumi dan mengakibatkan banyak gunung terancam
meletus.
Sampailah pada suatu hari Nogososro bertanya kepada ibunya,
"Hai lbuku, tunjukkan di mana gerangan ayahku berada? Mengapa aku tidak
seperti manusia biasa, sehingga tak seorangpun makhluk yang mau bergaul
denganku? Aku akan mencari ayah dan meminta padanya agar tubuhku dirubah
seperti manusia biasa."
Ratu Perangin-angin tak dapat menjawab, karena dia sendiri merasa
bahwa hal itu di luar kehendak dirinya. Dia sendiri tak dapat menjelaskan di
mana keberadaan ayah dari anaknya, sebab dia tak tahu di gunung mana suaminya
bertapa.
Karena jawaban sang ibu, akhirnya Nogososro dengan membawa
perasaan yang sangat pilu, pergi mencari ayahnya. Setelah sekian lama mencari,
akhirnya dia menemukan ayah yang dicarinya di sebuah gunung berapi di tepi
pantai.
Melihat sosok anaknya, Manggir terkejut bukan kepalang. Namun
bersamaan dengan itu, tiba-tiba kini terbuka olehnya tentang siapa Ratu
Perangin-angin sebenarnya.
Wanita berparas jelita itu ternyata jelmaan dari Patung Al-Atha.
Manggir baru menyadari bahwa telah mengambil langkah keliru, mencampurkan yang
gaib dan yang kasar, dan yang putih dengan yang hitam.
Dan yang terjadi kini adalah suatu ancaman baru bagi seluruh
penduduk pulau Jawa di masa mendatang. Ya, Nogososro adalah sumber dari ancaman
itu.
Karena merasa sangat malu, Manggir enggan mengakui Nogososro
sebagai anaknya. Namun dia tidak secara terang-terangan menyatakan hal itu,
melainkan dengan sebuah taktik. Disuruhnya Nogososro melilitkan tubuhnya ke
sekeliling gunung tempatnya bertapa. Dengan pesan, apabila ekornya bisa
menyentuh kepalanya, maka dia akan diakui sebagai anaknya.
Kenyataannya, kepala dan ekor Nogososro tidak bisa saling
menyentuh, meskipun sebahagian tubuhnya telah masuk ke dalam gunung karena
kuatnya dia melilit.
Sambil menitikkan air mata, Nogosoro lalu menjulurkan lidahnya agar
dapat mencapai ekor. Usahanya ini berhasil. Tetapi Manggir tidak bisa menerima
kenyataan itu. Dia menganggap bahwa Nogososro telah berbuat curang. Manggir
mencabut kerisnya, kemudian membabat lidah anaknya. Apa yang terjadi?
Sungguh luar biasa! Lidah Nogososro yang terputus mengeluarkan api
seperti petir yang sangat dahsyat. Seketika Pulau Jawa bergoncang dengan
hebatnya. Akibatnya, bagian timur pulau Jawa terputus-putus menjadi pulau-pulau
kecil. Dan pulau Jawa yang tadinya berbentuk mirip seekor ular naga, kini
berubah menjadi seperti harimau.
Seiring dengan itu, Nogososro yang sangat terkejut dengan tindakan
ayahnya yang telah memutuskan lidahnya, serta merta mencengkeram lereng gunung
sekuat-kuatnya sambil menahan amarah dan rasa sakit. Akibatnya, gunung tempat Manggir
melakukan tapabrata meletus dengan teramat dahsyat.
Begitu dahsyatnya letusan tersebut sehingga seluruh puncak gunung
serta dasarnya terlempar ke Laut Selatan, dan lubang bekasnya kemudian terisi
air laut, membentuk sebuah teluk dengan kedalaman lebih dari 5 km. Teluk itu
yang kemudian dikenal dengan nama Teluk Pelabuhan Ratu.
Sementara itu Manggir dan Nogososro, keduanya sempat terpental ke
angkasa. Namun karena kesaktian mereka tak ada yang mengalami cidera walau
sedikitpun. Meskipun demikian, karena mereka lebur bersama lahar dan batu, kini
tubuh ayah dan anak itu berubah wujud secara total. Manggir rnenjelma menjadi
patung batu, yang terkadang berpindah tempat dari satu gunung ke gunung yang
lain.
Sementara itu, Nogososro yang tubuhnya sangat besar dan panjang,
menjadi naga batu yang terbentang hingga saat ini. Demikian pula tangannya yang
mencengkeram gunung berapi tempat Manggir bertapa, sampai sekarang masih bisa
dilihat.
Dengan adanya perubahan wujud tersebut, bahaya dari tangan kanan
Nogososro memang telah berlalu. Tetapi bahaya dari lidahnya yang terputus,
masih mempengaruhi manusia sampai saat ini. Konon, lidah yang putus tersebut
turun bersama petir Liwe Muser, tempat pertemuan lima buah sungai. Akibatnya
di tempat itu rnenjelma lubuk yang dalamnya mencapai lima batang bambu lebih.
Sementara tanah disekitar sungai rekah-rekah, membentuk lima buah goa.
Di tempat itulah lidah Nogososro berubah menjadi sebilah keris
berbentuk lidah naga, terbuat dari logam yang tidak dikenal oleh siapapun. Untuk
mengamankan lidah Nogososro, Manggir yang masih bertapa di atas punggung
anaknya yang telah menjadi gunung batu di Pelabuhan Ratu, terus memanjatkan
doa. Dia berharap selalu ada orang yang mengiring jalannya lidah tersebut. Dan
dapat menghentikan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya.
Kata seorang ahli supranatural, bila suatu saat kita melakukan
rekreasi ke Pelabuhan Ratu, jangan lupa memandang ke puncak gunung Jayanti.
Katanya, itu sebenarnya adalah kepala Nogososro.
Bila ingin melihat tangan kanan sang naga, bisa datang ke Goa
Gedong Manik Taman Srimegan dari Patugurun. Adapun tempat putusnya lidah
Nogososro, tepat di Sungai Cimandiri sekarang, di suatu tempat yang disebut
Bagbagan.
Dari kedua versi kisah di atas, tentang asal-usul keris Nogososro,
manakah yang benar? Entahlah! Yang jelas, pusaka Nogososro hingga sekarang
banyak diburu orang, terutama para pejabat. Tetapi, tentu saja tak sembarang
orang yang dapat memilikinya. Bahkan kabarnya, pusaka ini hanya bisa diperoleh
oleh mereka yang benar-benar berjodoh untuk memilikinya.
Bung Karno adalah tokoh yang disebut-sebut pernah memiliki keris
Nogososro. Demikian pula halnya dengan Soeharto. Konon, mereka dapat memiliki
keris sakti tersebut setelah melakukan suatu ritual yang sangat berat. Benarkah
kisah ini? Sekali, semuanya masih menjadi misteri yang sulit dicarikan
jawabannya. Q