RSS
Facebook
Twitter

Sabtu, 29 Juni 2013

huruf jawa


Aksara Jawa, atau dikenal juga sebagai Hanacaraka dan Carakan adalah salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah Indonesia lainnya. Tulisan ini berkerabat dekat dengan aksara Bali.
Bentuk kontemporer aksara Jawa terbentuk sejak masa kesultanan Mataram abad ke-17, dan bentuk tercetaknya muncul pada abad 19. Semenjak Perang Dunia II, penggunaannya mengalami penurunan dan sekarang bahasa Jawa lebih umum ditulis dengan aksara Latin. Aksara Jawa telah ditambahkan dalam Unicode versi 5.2 pada tahun 2009. Namun dari itu, kompleksitas aksara Jawa menyebabkan kesulitan rendering dalam komputer standar, dan hanya teknologi Graphite SIL pada program tertentu saja yang dapat memberi tampilan benar. Kurangnya nyamannya penggunaan aksara Jawa dalam lingkungan digital membuat penggunaannya tidak begitu luas.

Jumat, 28 Juni 2013

PUSAKA TANAH JAWA

Misteri Pusaka Tersakti di Tanah Jawa

Menurut kepercayaan sebahagian orang Jawa, seorang pemimpin tidak akan kuat menduduki kursinya bila tanpa didukung piandel dan pusaka-pusaka sakti. Sejauh mana kebenaran dari kepercayaan ini?



Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, khususnya Jawa, ini bukan hal aneh lagi. Kepercayaan yang tidak diketahui sejak kapan berlaku itu dianggap suatu keharusan bagi setiap pemimpin bila tak ingin tahtanya segera jatuh. Yang pasti, ini bukan hanya cerita para raja dan sultan di masa lalu, tetapi para elit politik sekarang pun masih banyak yang mempercayai kekuatan atau tuah pusaka-pusaka sakti dengan berbagai bentuknya.

Ada yang meyakini, bahwa pusaka tersakti yang bisa membantu melenggangkan kekuasaan setingkat pimpinan negara atau presiden adalah Keris Nogososro Keris sakti di Tanah Jawa, yang digambarkan bisa menaklukkan jagat kahyangan bila dia mengamuk. Tak heran, belakangan makin ba­nyak politikus yang datang ke orang pintar demi memburu pusaka ini dengan biaya, syarat, dan resiko apapun. Setidaknya, demikianlah menurut informasi yang berhasil diendus Misteri dari sejumlah sumber.
Kabarnya, walau ada yang berani membeli dengan harga miliaran rupiah atau menukar dengan berkilo-kilo gram emas, namun kenyataannya, tak mudah untuk menemukan pusaka keris Nogososro yang asli. Keris ini tetap misterius keberadaannya.
"Banyak sekali orang yang mengaku memiliki pusaka Nogososro. Padahal semuanya pasti palsu. Sungguh sulit menebak siapa sebenarnya pemegang keris itu sekarang," ujar salah seorang paranormal ahli keris, yang dihubungi Misteri.
Ditambahkan oleh sumber yang enggan disebut identitasnya itu bahwa keris Nogososro memang memiliki latar belakang politik yang kental, terutama dalam hubungannya dengan suksesi kepemimpinan kesultanan Demak Bintoro di masa silam.
"Pada dasarnya keris Nogososro merupakan pesanan dari Sultan Trenggono untuk menentukan calon penggantinya. Karena ada trah keturunan yang dipandang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang sama untuk menduduki kursi kepemimpinan setelah dia wafat," imbuhnya.
Dalam sejarah dinyatakan bahwa dua trah kesultanan Demak yang memiliki peluang untuk menjadi pemimpin pasca Sul­tan Trenggono yakni trah Sidolepen yang diawali oieh Haryo Penangsang, dan trah Trenggono. Kedua trah tersebut sesungguhnya adalah masih bersaudara.
Berawal dari persoalan itu, maka para wali mengusulkan kepada Sultan Trenggono untuk memesan keris Nogososro, sebagai pusaka andalan sekaligus sebagai me­dia sayembara, yang kira-kira berisi: "Siapa yang mampu memegang atau menguasai keris tersebut, dialah yang berhak mendu­duki tahta."
Ternyata sayembara itu dimenangkan oleh Joko Tingkir atau Hadiwijoyo, anak angkat Sultan Trenggono. Sejak saat itu, keris Nogososro menjadi legenda masya­rakat.
Menurut riwayat, pusaka ini sempat hilang dari keraton dan menjadi rebutan para pendekar Tanah Jawa, Akibat hilang keris Nogososro pada waktu itu di seluruh kerajaan Demak Bintoro goncang. Pasalnya, kraton khawatir pusaka yang sangat ampuh itu ja­tuh ke tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Namun untungnya, atas upaya salah seorang punggawa kerajaan Demak yang terkenal sakti dan berbudi luhur, pusaka tersebut dapat ditemukan kembali.
Orang yang berjasa besar itu bernama Mahesa Jenar, yang merupakan saudara seperguruan Kebo Nongo atau Ki Ageng Pengging, sekaligus murid kinasih pangeran Hanyaningrat.
Menurut keterangan salah satu sumber, pusaka Nogososro biasanya selalu disandingkan dengan dua keris lagi yakni, Sabuk Inten dan Sengkelat, Sabuk Inten untuk kewibawaan, sedang Sengkelat untuk kamukten.
Namun dari sekian keris yang ada, keampuhan Nogososro tak ada yang mampu menandinginya. Dengan sawabnya, keampuhan pusaka yang lain dapat tertindih, bahkan hilang sama sekali.
ASAL-USUL KERIS NOGOSOSRO
Menurut salah satu sumber, keris No­gososro dibuat oleh Empu Supo Mandrani, yang hidup pada zaman kerajaan Majapahit. Tetapi versi lain menyebutkan bahwa pusaka ini, sesuai dengan namanya, tercipta dari lidah sesosok makhluk berbentuk ular naga yang sangat sakti. Namanya, No­gososro. Adapun kisah selengkapnya ada­lah sebagai berikut:
Pada zaman dahulu, seorang lelaki sakti mandraguna bernama Manggir terbang menggunakan selembar tikar permadani meninggalkan tanah kelahirannya dari Baqhdad. Dia berniat melakukan perjalanan menuju sebuah pulau yang terbuat dari reruntuhan gunung Himalaya dan ber­bentuk seperti naga. Pulau tersebut tak lain dan tak bukan adalah pulau Jawa.
Kedatangan Manggir di pulau Jawa bersamaan dengan turunnya patung Al-Atha dari India. Kedatangan patung ini diiringi awan kemupus dan kelompok orang yang memujanya. Dan bersamaan pula dengan itu, terjadi peristiwa alam yaitu gerhana matahari total.
Setelah beberapa lama tinggal di pulau Jawa, Manggir dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa di tempat yang baru ini terdapat banyak sekali gunung berapi, yang kapan saja bisa meletus dan membinasakan penduduknya. Karena itulah Manggir bermaksud untuk melakukan tapa brata, de­ngan tujuan mendinginkan gunung berapi yang ada di pulau ini.
"Aku akan pergi ke salah satu gunung berapi di pulau ini untuk bertapa. Bila sekiranya ada keturunanku yang ingin bertemu, suruh dia mencariku ke sana," pesan Manggir kepada Ratu Perangin angin, isterinya.
Seorang pun tak ada yang mengetahui, di gunung berapi yang mana sebenarnya Manggir bertapa. Sebab di tanah Jawa ini, gu­nung berapi ada puluhan jumlahnya. Karena itu, hingga kini tetap misterius.
Dikisahkan, Manggir bertapa sampai ratusan tahun lamanva sampai mimpikan, dia dapat mengirimkan rohnya untuk sesekali menggauli isterinya, sehingga sua­tu ketika, Ratu Perangin-angin mengandung.
"Jika suamiku menguasai gunung dan daratan, sedangkan aku penguasa Laut Selatan, semoga anakku berkuasa atas keduanya," doa Ratu pada suatu hari sambil mengelus-elus perutnya yang sedang hamil besar.
Ketika lahir, ternyata anak yang dikandung Ratu bentuk fisiknya bak ular naga. Tak hanya itu, perkembangan tubuh si anak juga begitu cepat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat telah menjelma menjadi seekor naga raksasa yang sangat ganas. Se­suai dengan keadaannya, si anak diberi nama Nogososro.
Dikisahkan, apabila Nogososro berjalan atau merayap, maka langkahnya menggetarkan permukaan bumi dan mengakibatkan banyak gunung terancam meletus.
Sampailah pada suatu hari Nogososro bertanya kepada ibunya, "Hai lbuku, tunjukkan di mana gerangan ayahku berada? Mengapa aku tidak seperti manusia biasa, sehingga tak seorangpun makhluk yang mau bergaul denganku? Aku akan mencari ayah dan meminta padanya agar tubuhku dirubah seperti manusia biasa."
Ratu Perangin-angin tak dapat menjawab, karena dia sendiri merasa bahwa hal itu di luar kehendak dirinya. Dia sendiri tak dapat menjelaskan di mana keberadaan ayah dari anaknya, sebab dia tak tahu di gunung mana suaminya bertapa.
Karena jawaban sang ibu, akhirnya No­gososro dengan membawa perasaan yang sangat pilu, pergi mencari ayahnya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya dia mene­mukan ayah yang dicarinya di sebuah gu­nung berapi di tepi pantai.
Melihat sosok anaknya, Manggir terkejut bukan kepalang. Namun bersamaan de­ngan itu, tiba-tiba kini terbuka olehnya tentang siapa Ratu Perangin-angin sebenarnya.
Wanita berparas jelita itu ternyata jelmaan dari Patung Al-Atha. Manggir baru menyadari bahwa telah mengambil langkah keliru, mencampurkan yang gaib dan yang kasar, dan yang putih dengan yang hitam.
Dan yang terjadi kini adalah suatu ancaman baru bagi seluruh penduduk pulau Jawa di masa mendatang. Ya, Nogososro adalah sumber dari ancaman itu.
Karena merasa sangat malu, Manggir enggan mengakui Nogososro sebagai anaknya. Namun dia tidak secara terang-terangan menyatakan hal itu, melainkan dengan sebuah taktik. Disuruhnya Nogo­sosro melilitkan tubuhnya ke sekeliling gu­nung tempatnya bertapa. Dengan pesan, apabila ekornya bisa menyentuh kepalanya, maka dia akan diakui sebagai anaknya.
Kenyataannya, kepala dan ekor Nogo­sosro tidak bisa saling menyentuh, meskipun sebahagian tubuhnya telah masuk ke dalam gunung karena kuatnya dia melilit.
Sambil menitikkan air mata, Nogosoro lalu menjulurkan lidahnya agar dapat mencapai ekor. Usahanya ini berhasil. Tetapi Manggir tidak bisa menerima kenyataan itu. Dia menganggap bahwa Nogososro te­lah berbuat curang. Manggir mencabut kerisnya, kemudian membabat lidah anaknya. Apa yang terjadi?
Sungguh luar biasa! Lidah Nogososro yang terputus mengeluarkan api seperti petir yang sangat dahsyat. Seketika Pulau Ja­wa bergoncang dengan hebatnya. Akibatnya, bagian timur pulau Jawa terputus-putus menjadi pulau-pulau kecil. Dan pulau Ja­wa yang tadinya berbentuk mirip seekor ular naga, kini berubah menjadi seperti harimau.
Seiring dengan itu, Nogososro yang sa­ngat terkejut dengan tindakan ayahnya yang telah memutuskan lidahnya, serta merta mencengkeram lereng gunung sekuat-kuatnya sambil menahan amarah dan rasa sakit. Akibatnya, gunung tempat Manggir melakukan tapabrata meletus de­ngan teramat dahsyat.
Begitu dahsyatnya letusan tersebut se­hingga seluruh puncak gunung serta dasarnya terlempar ke Laut Selatan, dan lubang bekasnya kemudian terisi air laut, membentuk sebuah teluk dengan kedalaman lebih dari 5 km. Teluk itu yang kemudian dikenal dengan nama Teluk Pelabuhan Ratu.
Sementara itu Manggir dan Nogososro, keduanya sempat terpental ke angkasa. Na­mun karena kesaktian mereka tak ada yang mengalami cidera walau sedikitpun. Meskipun demikian, karena mereka lebur bersama lahar dan batu, kini tubuh ayah dan anak itu berubah wujud secara total. Manggir rnenjel­ma menjadi patung batu, yang terkadang berpindah tempat dari satu gunung ke gunung yang lain.
Sementara itu, Nogososro yang tubuh­nya sangat besar dan panjang, menjadi naga batu yang terbentang hingga saat ini. Demikian pula tangannya yang menceng­keram gunung berapi tempat Manggir ber­tapa, sampai sekarang masih bisa dilihat.
Dengan adanya perubahan wujud terse­but, bahaya dari tangan kanan Nogososro memang telah berlalu. Tetapi bahaya dari li­dahnya yang terputus, masih mempengaruhi manusia sampai saat ini. Konon, lidah yang putus tersebut turun bersama petir Liwe Muser, tempat pertemuan lima buah sungai. Aki­batnya di tempat itu rnenjelma lubuk yang dalamnya mencapai lima batang bambu le­bih. Sementara tanah disekitar sungai rekah-rekah, membentuk lima buah goa.
Di tempat itulah lidah Nogososro ber­ubah menjadi sebilah keris berbentuk lidah naga, terbuat dari logam yang tidak dikenal oleh siapapun. Untuk mengamankan lidah Nogososro, Manggir yang masih bertapa di atas punggung anaknya yang telah men­jadi gunung batu di Pelabuhan Ratu, terus memanjatkan doa. Dia berharap selalu ada orang yang mengiring jalannya lidah ter­sebut. Dan dapat menghentikan akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya.
Kata seorang ahli supranatural, bila sua­tu saat kita melakukan rekreasi ke Pelabuh­an Ratu, jangan lupa memandang ke pun­cak gunung Jayanti. Katanya, itu sebenar­nya adalah kepala Nogososro.
Bila ingin melihat tangan kanan sang naga, bisa datang ke Goa Gedong Manik Taman Srimegan dari Patugurun. Adapun tempat putusnya lidah Nogososro, tepat di Sungai Cimandiri sekarang, di suatu tempat yang disebut Bagbagan.
Dari kedua versi kisah di atas, tentang asal-usul keris Nogososro, manakah yang benar? Entahlah! Yang jelas, pusaka Nogo­sosro hingga sekarang banyak diburu orang, terutama para pejabat. Tetapi, tentu saja tak sembarang orang yang dapat memilikinya. Bahkan kabarnya, pusaka ini ha­nya bisa diperoleh oleh mereka yang benar-benar berjodoh untuk memilikinya.
Bung Karno adalah tokoh yang disebut-sebut pernah memiliki keris Nogososro. De­mikian pula halnya dengan Soeharto. Konon, mereka dapat memiliki keris sakti tersebut setelah melakukan suatu ritual yang sangat berat. Benarkah kisah ini? Se­kali, semuanya masih menjadi misteri yang sulit dicarikan jawabannya. Q

Kamis, 27 Juni 2013

gamelan

Sejarah Gamelan & Makna

 

Kata gamelan sendiri berasal dari bahwa Jawa "gamel" yang berarti memukul/ menabuh, diikuti akhiran "an" yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama
.

Muasal gamelan.

Tidak ada kejelasan tentang sejarah tercaiptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari jaman Hindu-Budha mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik asli India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara "menyanyikan" lagunya. Penyanyi pria biasa disebut Wiraswara dan penyanyi wanita disebut Waranggana.
Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada era Saka. Beliau adalah Dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medang Kamulan (sekarang Gunung Lawu).
Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah "gong", yang digunakan untuk memanggil para Deva. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusu. Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelam.
Pada jaman Mojopahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda.
Bukti otentik yang pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke 8. Pada reliefnya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi denga suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup "orang Jawa" pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah: sebagai orang Jawa, selalu "memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak". oleh sebab itu, "orang Jawa" selalu menghindari ekspresi yang temperamental tetapi berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, panduan keseimbangan bunyi kenong, saron, kendhang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
penelaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu "Slendr", "Pelog", "Degung" (khusus daerah Sunda) dan "madeda" (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropah.
  • Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu: 1 2 3 4 5 6 [C-D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
  • Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu: 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E F#G#A B] dengan perbedaan interval besar
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pethet. dibatasi oleh satu gongan serta melodinya. diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
komponen utama alat musik gamelan adalah: bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan.
  1. Bonang dan kenong, memiliki suara yang hampir sama yaitu: nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana (ada), ning berarti bening (jernih), nong berarti plong (mengerti) dan nung berarti dunung (sadar), maksudnya setelah menusia ada, lalu berfikir dengan hati yang bening maka dapat mengerti sehingga dunung (sadar) bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakan yaitu Sang Maha Pencipta (Alloh).
  2. Kethuk bunyinya Thuk, artinya mathuk (setuju, cocok).
  3. Kendhang, yang mengendalikan irama cepat atau lambat. Bunyinya dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah, berarti manusia segera beribadah kepada Alloh SWT.
  4. Kempul, artinya kumpul (berkumpul) atau berjama'ah. Setelah ditabuh sekali, dua kali, tiga kali disusul bunyi gong. Semua amal ibadah kita ditujukan kepada yang Maha Agung.
  5. Saron, Demung, Slentheng sebagai pemaku lagi memiliki tugas baku sebagai saka guru bermakna iman yang kuat.
  6. Gender, Gambang, Siter merupakan pemangku Yatmaka, maksudnya jiwa yang sempurna.
  7. Rebab dari kata " Abab", yaitu hawa yang keluar dari mulut, maksudnya nafsu pernafasan atau hawa nafsu. Manusia harus dapat mengendalikan hawa nafsunya.
  8. Suling artinya eling (ingat). Ingat bahwa ada kehidupan yang kekal dan bahagia hanya dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.
  9. Gong yang dibunyikan terakhir berarti selesai, bunyinya gung artinya yang Maha Agung.
Mengenai gamelan dapat dikemukakan keterangan berikut.
Seperti pertunjukan wayang, gamelan pun sudah ada sebelum Islam masuk tanah air kita. Bahkan ada pendapat, bahwa wayang, gamelan, batik, huruf Jawa sudah ada sebelum Hindu. Gamelan selalu dibunyikan untuk meramaikan pesta-pesta dikalangan rakyat dan merupakan kegemaran bagi rakyat yang telah mendarah daging, bahkan seakan telah meresap dalam tulang sungsum orang Indonesia. Dan karena alasan seperti itulah Islam mengambil sikap toleran untuk mensiarkan da'wahnya. Maka pada periode perkembangan jaman masuknya Islam ke tanah air merasa sebagai ajaran asing, Para juru da'wahnya mencoba secara bijak menggubah disana sini pemaknaan arti alat gamelan, menggubah tembang, wayang, dengan sikap toleran dan bijaksana agar tujuan dakwah bisa dicapai tanpa merubah atau merusak tatanan yang sudah ada dan digemari oleh seluruh bangsa Indonesia.
Hal ini sangat berbeda sekali dengan yang terjadi pada generasi penerus yang cenderung ingin merusak tatanan bahkan memerangi apa yang telah ditata secara apik oleh para leluhur kita. Tanpa mau mengkaji pesan yang ada dibalik semua karya cipta dari budaya bangsa kita.

Jaman Islam

Usaha menggubah gamelan dan wayang serta tembang oleh para Wali untuk memanfaatkan budaya adiluhung dari bangsa kita sebagai sarana da'wah akan diterima dengan baik, karena gubahan yang saya maksud tidak mengurangi nilai arti yang dilambangkan.
Gamelan terdiri dari bermacam alat masing-masing punya fungsi dan nama sendiri-sendiri untuk menyertai pertunjukan wayang kulit, maka seluruh gamelan dibunyikan bersama. Bak konser atau kumpulan suara yang laras dan teratur menurut tempo dan iramanya. Konser tersebut telah melambangkan usaha gotong royong yang selaras dan harmonis merupakan suatu keseragaman.
Usaha dalam mencapai tujuan yang luhur, yaitu nerhasilnya pagelaran wayang kulit yang sebenarnya merupakan usaha keagamaan yang vital dan suci, yaitu da'wah Islam dengan jalan mendalami makna tokoh-tokoh, kejadian-kejadian dan seluruh unsur wayang. Berdasarkan tujuan inilah maka pada unsur-unsur gamelan telah diberikan makna tertentu dengan maksud agar seluruh unsur-unsur di dalam wayang dalam pertunjukan dapat mengenai sasaran yang tepat, yaitu melaksanakan da'wah Islam, agar rakyat dapat dibawa ke arah melaksanakan ibadah menurut ajaran Islam yang benar.
Seluruh kumpulan gamelan itu mempunyai 3 (tiga) kelompok, gamelan yang masing-masing larasnya sendiri atau susunan nada sendiri:

  1. Yang tidak atau belum Islam
  2. Golongan yg telah melaksanakan ibadah menurut ajaran Islam dan
  3. Golongan setengah-setengah.
Maksudnya bagaimanapun juga keadaannya ketiga macam golongan dalam masyarakat itu selalu ada. Laras masing-masing membawa suasana hati sendiri-sendiri: Gembira, sedih, tergesah-gesah dan mantab, dll.
Mengenai hal semacam itu kita harus dapar olah rasa = lah + ras = laras, karena soal da'wah adalah yang mirasa untuk golongan yang sesuai (niscaya dengan enak dirasakannya). Dalam hal ini mutu kecakapan, keluhuran, kebijaksanaan dan kemampuan da'wah Islam untuk membawa 2 (dua) golongan yang lain, yang belum atau yang setengah-setengah menuju pada pelaksanaan ibadah menurut Ajaran Islam yang sebenarnya. Da'wah Islam yang mirasa artinya da'wah yang sami + rasa yang sama-sama enak, atau sama-sama baik dirasakan dan didengarkan.
Usaha untuk mencapai tujuan itu harus dilaksanakan dengan sabar, rajin dan sebaik-baiknya, tetapi mengenai hasilnya, tergantung kepada keridloan Alloh sepenuhnya, yang di tambahkan dengan "kenong" (yen kepareng Hyang Winong), yang berarti apabila diridloi Alloh yang disembah Manusia. Manusia hanya berusaha menyadarkan, adapun orang menjadi sadar atau tidak. Itu Alloh sendiri yang menentukan.

Nama dan Makna alat gamelan menurut gubahan baru (Islam)
sekumpulan gamelan alat-alat pokony ada 14 (empat belas) macam yaitu:

  1. Rebab          6. Kendang.                   
  2. Gender         7. Suling                 11. Kethukl
  3. Penerus        8. Penambang         12. Kempul
  4. Sarong          9. Clempung           13. Kenong
  5. Gambang     10. Bonang               14. Gong.           
Tiap alat mempunyai makna sendiri menurut gubahan para wali sebagai sarana da'wah Islam. Atas dasar inilah di kemukakan sebagai berikut:
  • Rebab: kata rebab berasal dari suku reb + bab = karep + bab = kehendak dan persoalan; yang demikian itu memberi petunjuk bahwa rebab membawakan makna tertentu. Dalam usaha untuk mencapai tujuan, kehendak atau maksud dan seluruh persoalan perlu dikemukakan lebih dahulu. Yang perlu diingat bahwa tiap-tiap lagu atau gending dalam memainkannya dengan gamelan selalu dimulai dengan membunyikan rebab, yang kemudian segera diikuti dengan beberapa alat gamelan lain, dan akhirnya gong. Bila rebab tidak ada, maka genderlah yang mulai. Dalam hal ini bonang pun dapat menjadi penggantinya. Pembukaan ini sudah merupakan pembeberan singkat cara mencapai tujuan, yaitu:
    1. Maksud dan Persoalan ditetapkan dulu
    2. Usaha perlu diadakan, bahwa harus diadakan secara positif
    3. Akhirnya sampailah kita pada tujuan dan hasil yang dimaksudkan.
    4. Bersyukur ke hadirat Alloh Tuhan Yang Maha Agung
           Jadi rebab memberi arah segala usaha. Adapun maksud dan bab atau persoalannya jelas, yaitu    
           mengadakan penyiaran ajakan yang baik di ikuti. Menurut ajaran Islam, untuk membawa rakyat
           beribadah adalah asal pokok yang harus diteruskan dari generasi ke generasi; satu generasi tidak
           diberi ajaran ini, akan kaburlah generasi seterusnya.
  • Gender: Kata 'gender berasal dari 'gendera' yang tempatnya ada di muka dan di atas. Indonesianya "bendera". Tugas gender dalam konser gamelan selalu mengadakan permulaan dulu, atau dibunyikan dahulu, apabila tidak ada rebab: suaranya selalu mendahului dan mengatasi alat-alat gamelan yang lain. Semuannya itu membawakan makna, bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan, dalam hal penyiaran ajaran Islam, harus ada yang mengambil inisiatif: harus ada pula yang memberi tuntunan, harus ada yang memimpin, dalam melaksanakan ibadah bersama atau berjamaah, hanya ada imamnya. Seorang imam harus di pilih yang sehat, cakap dan mampu untuk memimpin. Pemukul alat gender adalah seorang yang ahli dalam gending.
  • Penerus: Kata "Penerus" berati ' yang meneruskan" = anak keturunan = generasi, yang tugasnya memang menerima kebudayaan orang tua dan meneruskan kebudayaan itu kepada keturunan mereka sendiri. Penerus ujudnya seperti gender, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil, sedangkan permukaannya lebih banyak dan lebih 'ramai' dari pada gender yang dalam ukuran lebih besar dan disebut juga 'barung'. Barung dapat pula berasal dari: 'bar + ung = sabar  + unggul. Barung adalah gender besar yang melambangkan seorang pemimpin yang ingin besar, jaya dan unggul harus ber hati dan berlaku sabar. Tidak gegabah dan ceroboh segala sesuatu serba teliti, hati-hati dan telaten (tidak tergesah-gesah) kata 'barung' berasal dari: sama-sama didorong, barung= bareng + surung= bareng disurung.                                                                                                                                       maka sesudah gender berbunyi, alat-alat gamelan lainnya mendorong dan membantu, dan dibunyikan ; juga penerus meneruskan penyelesaian gending atau lagu yang sudah dimulai itu. Semua itu membawakan makna, bahwa tujuan penyiaran agama Islam untuk menegakkan ibadah Islam, yang inisiatifnya telah dimulai oleh nenek-moyang kita bersama-sama. DIteruskan secara kontinyu, artinya tetap terus menerus tanpa henti. Apabila tujuannya untuk membawa rakyat menjalakan ibadah belum tercapai harus diteruskan dari generasi ke generasi, karena tiap-tiap generasi baru harus di didik dan meneruskan pendidikan beribadah menurut Islam kepada generasi berikutnya. Usaha mendidik Rakyat untuk menjalankan ibadah, baik secara perseorangan maupun jama'ah. Khususnya maupun ibadah umum, harus diteruskan sampai akhir jaman secara bersama-sama. Demikian pula dalam usaha mencapai tujuan-tujuan yang luhur lainnya.
  • Sarong: Kata 'saron' berasal dari 'saron', yang berarti 'sero' atau secara 'keras'. Tiap-tiap lagu atau gending cara memainkannya dapat secara lambat, lmbat sekali, sedang, sangat cepat, sangar lemah, sedang, keras, menurut sifat lagu atau gending yang sedang dimainkan, atau mengingat suasana pertunjukan wayang yang sedang dipergelarkan. Dalam suasana yang hangat maka gending dimainkan cepat dan keras dan kadang-kadang malah cepat dan keras sekali. Ini dapat dilaksanakan dengan pemukulan saron yang dibuat dari logam yang tebal-tebal. Untuk ini dapat pula dipukul saron besar yang disebut demung (dem +ung) = gandem + unggul; dakwah Islam harus dapat gandem artinya dapat membawakan kenikmatan apabila didengarkan rakyat, sedang isinya laras unggul = luhur = bermutu tinggi dan harmonis seperti suara "Gong" pada akhir suatu lagu yang serem dan gandem (mantab enak kalau didengar). kesemuannya untuk membawa makna, bahwa mendekatkan usaha kepada tujuan, maka usaha harus diperkeras dengan usaha yang bermacam-macam, mendalam serta bijaksana. Dalam hal ini maka usaha dakwah Islam dapat diusahakan secar masal dengan pengajian-pengajian di lembaga-lembaga pemerintahan dalam negara: semua dilaksanakan dengan cara berdakwah yang teratur, bijaksana dan pada waktu-waktu tertentu yang agak sering.
  • Gambang: kata 'gabang' berasal dari suku kata gam + bang = gamblang + timbang = jelas + seimbang, atau jelas dan dpertimbangkan, artinya 
  • Kendang

arti gunungan

Arti Gunungan Wayang

Siapa yang tidak tahu gunungan dalam pementasan wayang kulit? Semua berpikir gunungan berasal dari tradisi Hindu. Namun riset terbaru menunjukkan gunungan memiliki akar budaya ribuan tahun saat Indonesia adalah sebuah benua di akhir Zaman Es.
Fakta yang mungkin mengagetkan orang ini diungkapkan seorang profesor asal Universitas Oxford, Inggris, Stephen Oppenheimer. Dalam buku Eden in The East: Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara, Oppenheimer menjelaskan penduduk di benua Sundaland berimigrasi ke seluruh dunia pada akhir Zaman Es.
Sundaland adalah kawasan Indonesia dan sekitarnya. Saat penduduknya berimigrasi, mereka membawa semua pengetahuan dan budaya mereka, termasuk filosofi luhur soal kehidupan manusia yang paling mendasar yaitu siklus kehidupan, dan kesuburan bumi.
Menurut Oppenheimer, filosofi ini disimbolkan oleh tiga hal yaitu pohon, burung dan ular. Ketiga simbol ini tersebar di seluruh dunia misalnya saja kisah ular naga di berbagai kebudayaan dunia, atau burung yang indah mulai dari phoenix sampai merak, dan kisah pohon kehidupan mulai dari beringin sampai Jack dan pohon kacang ajaib.
Namun di Indonesialah ketiga aktor kehidupan ini masih berkumpul. Berbagai produk budaya di Indonesia, menampilkan pohon, burung dan ular dalam satu tempat. Jika tidak percaya, buktinya adalah gunungan dalam wayang kulit.
Silakan melihat gambarnya, dan Anda akan menemukan pohon, ular dan burung. Motif serupa juga kerap muncul dalam motif kain batik dan tenun ikat Sumatera atau Sumbawa.
Jika Anda berkilah ini adalah pengaruh Hindu, bagaimana dengan motif ornamen rumah suku Dayak Kenyah? Dayak Kenyah tidak terkena pengaruh Hindu dan mereka pun menampilkan pohon, ular dan burung dalam satu tempat.
Pak Dalang hari ini mungkin akan menerjemahkan gunungan wayang sebagai tanda pergantian babak dalam lakon wayang. Gunungan adalah simbol dunia atau hutan rimba. Namun menurut Oppenheimer, ribuan tahun lalu, maknanya tidak sesederhana itu.
Pohon oleh para penduduk Sundaland di masa silam adalah sumber kehidupan. Dari pohon mereka mendapatkan buah-buahan dan tanda kesuburan tanah. Sundaland yang berada di iklim tropis diberkahi dengan hutan lebat, ketika belahan dunia lain berselimutkan es.
Sedangkan burung dan ular adalah simbol dari Sang Pencipta. Burung adalah simbol langit dan juga maskulinitas. Ular adalah simbol bumi dan feminitas. Perkawinan burung dan ular menghasilkan kesuburan bumi.
Pesan-pesan ini perlahan terlupakan, tergantikan atau tereduksi maknanya sebagai hasil peleburan berbagai budaya dunia. Namun di Indonesia, pesan-pesan asli masih bisa ditelusuri sebagai bukti di Nusantaralah peradaban itu berasal.

arti wayang dalam bahasa jawa

ARTI WAYANG

Wayang : “Wa” – “Ya” – “Ng”
• “Wa” ateges Woh
• “Ya” ateges Saguh
• “Ng” ateges Ngaurip
Wayang yaiku “hasil wohing ngaurip” utawa “ngunduh wohing pakarti”.
Wayang gunane kanggo tuntunan sing karepe nuntun nyang dalan ing kautaman, tontonan sing tegese nduweni bobot sing ante plan kena kanggo ngepras sing medukul nguruki nggone sing legog. dijupuk saka tembang sinom unene mengkene “Basa kelir iku raga, wayange sukma sejati, dalange iku utusan, balencong wahyuning urip, widi iku cahyaning uripku, nyrambahi badanira njaba njero, ngadep nginggil, cipta rasa budi karsa sung tuladha.
Asale wayang miturut angitane Pakdhe Sariengat kabeh mau ya mung saka jawa sing uwis Banter lakune, Gentur tapane, Mateng semedine ing wusana kaparing apa ingkang dadi sedya ing wusana, pinaringan ing panyuwune, kinabulake sak laku jantrene kuwat lan kena kanggo tuntunan ing uripe ben kena diconto utawa tinuladha digugu reh perintahe, ing pamrih bisa urip mulya mati sampurna. mula terus ana lakon Mahabrata sing tegese Maha kuwi luwih, Brata kuwi laku dadine yaiku “lakune sing linuwih” bisa nampa ing kanugrahan. la saiki dibacutake karo wong sing demen mangudi meneh uga antuk sasmita lan ganjaran peparing ing Gusti. keparing lan pinaringan ana lakon perang bratayuda, dadi sak benere wong urip iki kon nglakoni lakune perang lahir lan batin mula ya kudu sing prayitna, gladhinen, latihen, sinauo ( sekolah ) olah raga, olah rasa, olah sukma, olah suwara, lan olah cahya. maksaken ben mateng aja nganti dipangan mentah-mentah. nah mula saiki mung kari mikir, aku iki gelem apa ora? olah-olah supaya bisa antuk kinacek, kinasis, kinasih, kinayoman marang ingkang hanyiptakake Jagad, dadi mangertia menawa manung sa urip iki ya mung diutus nglakoni tugas ing ngaurip, pramula kudu sing eling aja nglalekake karo tugasing urip.
Sawise ngerti asale wayang terus bisa nyakep anane gamelan. sak temene lamun wong urip iki mung ngrungokake anane pendidikan batin terus-menerus iki anane ya mboseni, mula terus pinaringan sasmita anane panglipur lan mula diparingi kanggo larasing rasa ben bisa gathuk ana ing lahir lan batine. dadi ya wis cetha kuwating lahir saka batin lan kuwating batin saka lahir, dadi manungsa bisa mau bisa manunggal dadi siji.
Lakon ing wayang.
Lakon ing wayang iki ana 3 yaiku :
1. “Tumetesing banyu suci perwitasari kayugong susuhing angin”. sing manggone ana Gunung Abramuka.
2. “Babaring Jimat Kalima Husada”. sing dipundi dening Puntadewa. ( PANCASILA ).
3. “Wedaring Wahyu Sastro Jendriya Hayuning Rat Pangruwat ing Diyu”. iki wis pathokaning wewaton “Pakem”.
Nanging jer kabeh mau kena dicarang utawa dikembangake, direkadaya, digoleki apik lan becike, sumangga.
Dadi aja mung ngawur wae, 3000 tahun sadurunge masehi jawa kuwi uwis ana mulai saka aksarane, gambarane, gegebengane pandumaning urip iki wis cinekel dening para winasis ing jaman “KUNA MAKUNA” mula ya bisa ngerteni lerenging jaman sing bakal tumeka. kabeh mau ya ora mung saka gedening tekate, banter lakune, genter tapane, mateng semedine, wening ciptane kabeh mau ya saka karsaning Gusti. mula tinembungake sing temen bakal tinemu.

Senin, 17 Juni 2013

menghitung hari baik dalam tradisi jawa

Perhitungan Hari Baik di Dukuh Tawing, Desa Wotan, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, penanggalan menjadi sesuatu yang sangat penting. Masyarakat Jawa selalu berusaha mencari hari-hari yang paling baik dalam rangka melaksanakan sesuatu, ataupun melaksanakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Dalam kehidupannya orang Jawa selalu terikat dengan ruang dan waktu. Ruang artinya orang Jawa dalam setiap tingkah laku dala kehidupannya sselalu diatur oleh berbagi aturan. Hal ini ada di setiap sisi kehidupan orang Jawa. Orang Jawa pasti akan memikirkan tentang ruang ketika mencari jodoh, pindahan rumah dsb. Dan waktu maksudnya adalah orang-orang Jawa mempunyai pedoman-pedoman dalam menentukan hari yang baik dan buruk. Jadi orang Jawa ketika akan melaksanakn sesuatu pasti mencari hari yang terbaik.
Kebiasaan mencari hari dan arah yang baik itu menjadi konvensi pada masyarakat Jawa dimana saja. Semua orang Jawa itu mencari keselamatan dalam kehidupannya. Caranya adalah mencari hari yang paling baik. Dengan harapan dalam kehidupan seterusnya bisa hidup bahagia karena dari hari baik yang dipilih itu. Jadi hari baik itu juga berarti doa untuk yang melaksanakan niat atau hajatnya agar selalu diberi yang terbaik dalam hidupnya, seperti apa yang diinginkan.
Orang Jawa yang masih memegang teguh kejawaannya dan masih menggunakan penanggalan dalm kehidupan sehari-harinya tersebar dimana-mana. Bahkan, ada pula yang hidup di luar pulau Jawa. Tapi dari sekian banyak orang yang menggunakan sistem penanggalan Jawa tersebut terdapat perbedaan antara satu dan lainnya. Ada yang berbeda cara namun sama hasilnya. Tapi juga ada yang berbeda cara dan hasilnya. Itu semua tergantung dari masyarakat yang menggunakan sisitem penanggalan tersebut. Tapi biasanya perbedaan dari sistem penanggalan satu dan yang lainnya biasanya tidak banyak. Hanya ada pada bagian-bagian tertentu saja.
Begitu juga dengan sistem penanggalan di daerah Ponorogo, khususnya pedhukuhan Tawing, desa Wotan, kecamatan Pulung. Ada bagian-bagian dan cara yang berbeda untuk menentukan hari baik. Bagian dan cara untuk menentukan hari baik di wilayah tersebut berbeda karena dalam menentukan hari-hari yang baik para warga daerah setempat tidak sama dengan pedoman yang sudah ada. Memang, kalau kita teliti lagisetiap daerah pasti mempunyai ciri sendiri-sendiri. Perbedaan tersebut terjadi karena berbagai macam sebab.
  1. Tatalan Sebagai Media Menentukan Hari Baik
Di daerah Tawing untuk mencari hari baik digunakan sebuah alat. Oleh masyarakat Tawing alat itu disebut tatalan. Tatalan itu bentuknya adalah selembar kertas yang dahulunya hanya ditulis dengan tangan tapi dengan adanya perkembangan jaman ada yang sudah mencoba mengetik tatalan itu dengan komputer. Dengan demikian, akan terlihat lebih jelas. Tatalan itu isinya kotak-kotak seperti tabel dan di situ ada garis-garis dan gambar-gambar. Garis dan gambar di tatalan semua mengandung arti. Pembagian hari baik di tatalan itu dilihat menurut pawukonnya. Jadi, di setiapm wuku pasti ada hari baik dan jeleknya.
Beginilah wujud dari tatalan yang dipergunakan oleh masyarakat Tawing. Melalui tatalan ini bisa dilihat apakah suatu hari dalam suatu wuku tertentu itu baik itu tidak. Bentuk tatalan seperti ini telah dimodifikasi diketik komputer sesuai dengan jaman, untuk memudahkan dalam menentukan hari baik. Dalam foto tatalan ini bisa kita lihat kolom-kolom dengan singkatan berbagai huruf seperti S, L, U, K, T dan lainnya adalah konveris dari nama-nama wuku Jawa. Wuku-wuku yang dikonversikan tersebut di antaranya adalah 1. Sinta, 2, Landep, 3. Wukir, 4. Kurantil. 5. Tolu, 6. Gumbreg, 7. Warigalit, 8. Warigagung, 9. Julungwangi, 10. Sungsang, 11. Galungan, 12. Kuningan, 13. Langkir, 14. Mandasiya, l5.Julungpujut. 16.Pahang, 17. Kuruwelut, 18. Marakeh, 19. Tambir, 20. Madangkungan, 21.Makta, . 22. Wuye, 23. Manahil. 24, Prangbakat, 25.Bala, 26. Wugu, 27. Wayang, 28. Kulawu, 29. Dukut, dan 30. Watugunung. Jadi dalam setiap wuku di atas mengandung hari-hari baik dan-hari yang jelek seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain singkatan-singkatan di atas pada tatalan juga terdapat singkatan-singkatan lain. Singkatan itu seperti SN, RB, KM dan sebagainya. Singkatan-singkatan tersebut merupakan konversi dari nama-nama hari dalam seminggu. Singkatan tersebut adalah AK=Akad, SN=Senin, SL=Slasa, RB=Rebo, KM=Kemis, JM=Jemah, ST=Setu. Jadi dalam setiap minggu wuku berganti dan isi dari setiap wuku adalah hari-hari yang telah disebutkan di atas.
Di dalam tatalan juga terdapat berbagai tanda yang mengandung arti. Garis-garis yang menyerong dalam tatalan disebut garis kubur. Hari-hari yang dilewati oleh garis kubur ini tidak boleh dipakai untuk menyelenggarakan hajat apapun. Karena hari tersebut dipercaya sebagai hari yang jelek. Begitu juga dengan hari yang di dalamnya ada tanda silang. Hari tersebut juga dinilai hari yang jelek. Dan tanda titik-titik yang bertumpuk tiga atau yang disebut cerek telu juga dianggap sebagai hari yang tidak baik. Dan juga tanda segi empat dalam tatalan jika ada hari yang mendapat tanda itu maka disebut dina saru.
Sementara hari yang terbaik jika dilihat dalam tatalan ini adalah hari yang bersih tanpa ada tanda atau gambar apapun di hari tersebut. Hari tersebut atau yang sering disebut sebagai dina resik dianggap saat paling tepat untuk mengadakan hajatan apapun. Seperti pindah rumah, menikah, tingkeban dan hajatan lainnya. Pencarain saat terbaik semuanya dicari melalui tatalan. Sedangkan tanda lain yang berbentuk seperti tanda cek ( ) dan terbuka ke atas. Itu berarti adalah saat yang tepat untuk menanam tumbuh-tumbuhan yang nantinya berbuah di atas tanah. Atau istilah orang Jawa biasanya disebut pala gumandhu dan juga berbagai tanaman palawija dan buah-buahan yang buahnya di atas permukaan tanah. Sebaliknya tanda cek yang menghadap ke bawah ( ). Berarti adalah saat terbaik untuk menanam tanaman yang nantinya berbuah di dalam tanah. Atau istilah Jawanya disebut pala kapendhem.
Selanjutnya ada titik yang bertumpuk empat. Atau istilah yang digunakan oleh masyarakat Tawing disebut cerek papat atau ada juga yang menyebutnya dengan tandha methik. Disebut tandha methik karena pada hari yang bertanda ini adalah hari yang baik untuk menanam padi atau tandur. Jika padi ditanam pada hari ini menurut kepercayaan orang Tawing maka padi tersebut akan tumbuh dengan subur, terbebas dari hama dan nantinya akan menghasilkan panen yang melimpah ruah. Yang tentunya akan menguntungkan bagi para petani.
  1. Aplikasi Penanggalan Jawa
Selain tatalan yang menjadi pedoman atau pathokan dalam menentukan hari-hari baik, masih ada juga aturan-aturan atau paugeran untuk menentukan hai-hari baik yang digunakan yuntuk menyelenggarakan hajat tertentu. Selain masalah waktu di situ juga terdapat sisi ruang yang sangat penting peranannya. Acara-acara tersebut biasanya sangat berarti bagi momentum kehidupan manusia. Hal-hal penting tersebut diantaranya seperti pernikahan, pindah rumah dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya seperti di bawah ini.
  1. Pernikahan
Untuk mencari hari terbaik dalam pernikahan dicari dahulu bulan yang baik seperti misalnya bulan Besar atau Dulhijah. Dicari wukunya dan dilihat pada tatalan apakah hari apakah yang bersih. Kemudian dihitung baik atau tidak hari tersebut untuk pernikahan. Dengan dina pathokan Jemah Kliwon. Dengan dasar perhitungan sebagai berikut.
  1. Nuju Padu
  2. Demang Ganduruan
  3. Sanggar Waringin
  4. Mantri Sinaroja
  5. Macan Ketawang

Contoh penghitungannya adalah sebagai berikut. Misalnya telah dicari dalam tatalan bahwa hari yang bersih adalah Kemis Legi. Maka dihitung dari Jemah hingga sampai ke Kemis akan ditemukan tujuh. Dan pasarannya mulai dari Kliwon sampai ke Legi ditemukan dua. Maka Kemis Legi jumlahnya adalah sembilan. Dan dihitung berdasarkan pathokan di atas. Dan pernikahan pada hari itu jatuh pada Mantri Sinaroja. Dan Kemis Legi merupakan hari yang baik. Karena baik menurut perhitungan ini adalah yang jatuh pada saat sanggar waringin atau mantri sinaroja. Tapi sebenarnya lebih diutamakan Sanggar Waringin.

  1. Pindah Rumah dan Membangun Rumah
Jika dalam hitungan pindah rumah lain lagi perhitungan yang digunakan. Pertama-tama dicari dulu dalam tatalan hari baiknya yang bersih. Kemudian dilihat itu wuku apa. Karena setiap wuku memiliki tempat tersendiri yang tidak boleh dituju saat orang tersebut pindah rumah. Pembagian arah tersebut didasarkan pada wuku. Seperti keterangan di bawah ini.
Sinta, Galungan, Matab panggonane Lor Etan
Susang, Medangkungan, Watu Gunung panggonane Etan Bener
Ukir, Langkir, Menail panggonane Kidul Etan
Gumbreg, Paang, Ugu panggonane Kidul Bener
Landep, Uye, Kuningan panggonane Kidul Kulon
Dukut, Julung, Tambir panggonane Kulon Bener
Tolu, Julung Pujud, Bolo panggonane Lor Kulon
Riga, Klawu, Mrakih panggonane Lor Bener
Rigan, Kuruwelut, Wayang panggonane ndhuwur
Kranthil, Madasiys, Prang Bakat panggonane ngisor

Jadi, kalau ingin pindah rumah atau boyongan jangan dicari dulu hari baiknya dan apa wukunya jangan sampai ke arah dimana wuku berada karena dianggap mendatangi bahaya.
Begitu pula dengan mendirikan rumah dicari hari yang paling baik atau dina resik. Semua ini masih berdasar dengan tatalan. Dan pada saat penggalian tanah pertama diawali oleh yang punya rumah. Dengan posisi mencangkul membelakangi dimana wuku berada. Ini dimaksudkan agar saat pembangunan rumah bisa berjalan lancar tanpa ada halangan atau gangguan karena sudah dimulai dengan menjauhi bahaya.

  1. Tingkeban
Dalam tradisi tingkeban tujuh bulanan orang hamil pertama kali cara penghitungannya sama dengan penghitungan untuk mencari hari pernikahan. Jadi pertama kali dicari di tatalan hari yang baik. Kemudian hari yang baik tersebut dihitung dengan pathokan hari Jemah Kliwon. Kemudian dihitung tiba apakah hari tersebut. Sementara dasar penghitungannya adalah sebagai berikut.
  1. Kerta
  2. Wilaba
  3. Urusan
  4. Unen
Sementara hari yang baik jika hitungannya jatuh pada hitungan kerta. Karena orang yang punya hajat jatuh pada kerta, diharapkan akan mendapatkan berbagai kemudahan dan kemakmuran pada saat pelaksanaan dan setelah acara berlangsung.

  1. Sikap Masyarakat terhadap Perhitungan Jawa
Masyarakat Jawa di daerah Tawing pada umumnya masih menggunakan perhitungan Jawa seperti di atas. Mereka pada umumnya mempercayai bahwa perhitungan tersebut benar adanya. Dan bila dilanggar takut akan ada gangguan. Namun, menurut sesepuh daerah tersebut yang bernama Mbah Iskak. Semua hari pada dasarnya baik. Namun dengan adanya perhitungan hari baik ini, masyarakat mencoba mencari saat-saat terbaik untuk melaksanakan saat-saat penting yang kadang hanya dilakukan sekali seumur hidup oleh orang tersebut. Namun sebenarnya juga sudah sebagian kecil masyarakat yang mencari kepraktisan dengan meninggalkan perhitungan ini dan memilih mengadakn hajatnya pada hari-hari libur.

Jumat, 14 Juni 2013

Tradisi slametan

BUDAYA SLAMETAN

Dibalik Tradisi Slametan dan Tahlil

 Salah satu tradisi yang sudah mengakar kuat ribuan tahun lamanya di Indonesia, terutama di Tanah Jawah, adalah tradisi “slametan” bagi orang yang sudah meninggal dunia. Sebelum Islam masuk ke Indonesia, slametan identik dengan sesajen yang di persembahkan untuk roh-roh halus. Setelah Islam masuk ke bumi Nusantara, para penyebar Islam berupaya menyisipkan nilai-nilai Islam di dalamnya. Mereka berusaha merubah tradisi slametan bukan lagi sebagai persembahan untuk makhluk halus, melainkan sebagai sedekah yang tidak hanya merekatkan hubungan antara masyarakat, akan tetapi juga melatih kepedulian sosial.
Pada masa itu, dikenal tradisi peringatan tujuh hari (mitung dinani), empat puluh hari (matang puluh), seratus hari (nyatus dinani), dan seribu hari (nyewu dinani), terhitung sejak hari wafatnya si mati. Budaya ini diwarisi secara turun temurun hingga sekarang, yakni ketika mayoritas rakyat Indonesia sudah memeluk agama Islam.

Telaah Historis

KH. Muchith Muzadi, tokoh karismatik NU yang juga alumni Tebuireng, dalam pengantar bukunya mengatakan, sebenarnya tradisi slametan merupakan kreasi ijtihad para ulama dalam mencari strategi dakwah yang efektif. Menurut kakak kandung KH. Hasyim Muzadi ini, sejak Islam pertama kali hadir di Indonesia, saat ada orang meninggal dunia bisanya para tetangga dan kerabat berkumpul untuk menyampaikan rasa duka cita. Tapi kemudian, pada malam harinya mereka main kartu, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Budaya seperti ini membuat prihatin para ulama, sehingga sedikit demi sedikit mereka berupaya merubahnya. Mereka memasukkan budaya-budaya Islami ke dalam tradisi warisan Hindu ini, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, tasbih, yang hingga kini dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Setelah tahlilan, tuan rumah biasanya menyajikan makanan dan minuman ala kadarnya, bahkan tak jarang ditambah dengan bungkusan “berkat” untuk dibawa pulang. Semua itu dilakukan sebagai sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada si mayit.
Dari sini dapat kita pahami, bahwa tradisi slametan pada masa sekarang sudah berbeda jauh dengan slametan pada zaman dahulu.

Telaah Hukum

Walaupun kini sudah “Islami”, akan tetapi sebagian umat Islam masih menolak tradisi tahlil. Mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang haram. Sebab:

1. Tradisi tahlilan tidak pernah disyariatkat oleh Allah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya.
2. Tradisi ini merupakan transfer pahala dari orang yang masih hidup kepada yang sudah mati, dan itu bertentangan dengan ajaran Islam.
3. Tradisi ini akan membuat orang mudah berbuat dosa, karena dia berkeyakinan bahwa dosanya bisa ditebus dengan tahlilan dan dzikir fida’. Hal itu mudah dilakukan oleh orang-orang kaya.
4. Tradisi ini merupakan tindak pemborosan, karena memberikan sedekah kepada orang-orang yang tidak membutuhkan (bukan fakir miskin).
Pendapat ini seirama dengan pandangan Ibnu Hajar al-Haitami. Dalam al-Fatawi al-Kubra, Ibnu Hajar berpendapat bahwa peringatan hari ketiga, ketujuh, dan lain-lain yang telah membudaya di masyarakat, termasuk bid’ah madzmumah (bid’ah tercela), akan tetapi tidak diharamkan, selama bukan untuk meratapi kematian si mayit.
Sementara kalangan yang mendukung tradisi tahlilan menilai, bahwa tradisi ini sama saja dengan ajaran membacakan ayat suci al-Qur’an untuk orang mati, dimana hal itu merupakan anjuran Islam. Selain itu, tradisi tahlilan juga mengandung sisi positif, antara lain:

1. Menumbuhkan semangat dakwah dan kebersamaan, serta menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan cara berdzikir bersama mendoakan si mayit.
2. Untuk mengingatkan kita bahwa akhir kehidupan adalah kematian.
3. Untuk menanamkan jiwa kepedulian sosial terhadap sesama, walaupun hanya dengan cara mendoakan si mati. Dan telah kita maklumi, salah satu upaya menebus kesalahan kepada orang lain (terutama yang telah wafat) adalah dengan mendoakannya.

Konklusi

Jika diteliti lebih jauh, tradisi tahlilan sebenarnya tidak didasarkan pada dalil khusus yang menganjurkan maupun melarangnya. Dalam al-Qur’an dan hadits tidak ada dalil yang memerintahkan maupun melarang umat Islam me-nahlili kerabatnya yang sudah meninggal. Akan tetapi, karena esensi tahlil adalah untuk menumbuhkan semangat dakwah, membangun kebersamaan, mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui dzikir, doa, dan lain-lain, serta untuk mendoakan si mati dan mengingatkan kepada kematian, maka tradisi tahlilan sebenarnya mempunyai nilai positif. Yang perlu di ingat, jangan sampai tahlilan itu memberatkan keluarga si mati, karena Islam justru menganjurkan umatnya untuk meringankan beban mereka. Disamping itu, pihak keluarga jangan beranggapan bahwa tahlil adalah kewajiban syariat.
Syaikh al-Nawawi al-Bantani dalam Nihayat al-Zain menyatakan, bersedekah untuk si mati sangat dianjurkan, dengan catatan tidak bertentangan dengan aturan syariat. Akan tetapi, anjuran itu tidak khusus hanya pada hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, dll. Bersedekah pada hari-hari yang lain juga boleh.
Jika tujuan tahlil adalah untuk bersedekah dan berdoa bagi si mati, maka ritual ini tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Hal ini diperkuat dengan hadits Nabi riwayat Abu Dawud: “Bacalah Surat Yaasin pada orang yang mati di antara kalian”. Muhammad Ibn Ahmad al-Maruzi mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, “Ketika kalian memasuki area kuburan, maka bacalah surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Mu’awidatain (al-Falaq dan al-Nas). Dan jadikanlah pahala bacaan itu untuk penghuni kubur, maka pahala tersebut akan sampai kepadanya”. Nah, bacaan-bacaan tersebut sebenarnya merupakan esensi dari tahlil itu sendiri.

ALAM MASYARAKAT JAWA

  • Unordered List

  • More Text